Thursday, April 21, 2011

Ranjang Siang Ranjang Malam

Aku merasa baru kali inilah aku mendapat sebuah sentuhan dahsyat dari seorang pria. Kami pun lalu bercinta dengan sangat nyaman di sofa depan meja kerjanya.
 
Nama panggilanku Tanti. Aku seorang ibu dari dua putera. Si sulung, Afiya, berusia 12 tahun, duduk di bangku SD kelas VI, sedangkan si bungsu, Akbar, berusia 7 tahun, duduk di kelas 2 SD. Usiaku 35 tahun. Jika dilihat secara sekilas, kehidupan rumah tanggaku dengan suamiku, Mas Robby, cukup bahagia dan 'sempurna'. Secara ekonomi, keluarga kami memang sangat berada. Kondisi keluarga kami juga baik-baik saja. Suamiku sehat, anak-anakku juga sehat. Namun, terus terang ada sebuah luka menganga yang cukup dalam di hatiku, yang kerap mengganggu ketenanganku. Luka menganga itu dipicu oleh sebuah perilaku yang pernah aku lakukan dan ternyata terus menghantuiku.

Terus terang aku pernah selingkuh. Kurang lebih delapan tahun lalu, ketika Aliyah masih balita, aku tergoda oleh sebuah permainan panas. Permainan panas itu disuguhkan oleh bosku. Aku biasa menyapanya Pak Zul. Dia sebagai kepala kantorku. Kebetulan aku bekerja di sebuah instansi jasa di kota tempatku tinggal di Pasuruan, Jawa Timur. Saat itu Pak Zul adalah seorang bos baru yang baru dipindahkan dari Sumedang, Jawa Barat. Sebagai orang baru, tentu ia tak tahu seluk-beluk daerah Pasuruan. Begitu pula dengan adat-istiadatnya.

Pada awalnya, aku hanya diminta untuk menunjukkan tempat-tempat menarik, tempat makan yang asyik, juga beberapa tempat untuk cuci mata. Ya, karena Kota Pasuruan tidak begitu besar, aku pun dengan lancar menunjukkannya. Kami berdua tidak memakai sopir jadi kendaraan disopiri sendiri oleh Pak Zul. Kebetulan dia memang tak bawa istri, karena rumah, istri dan anak-anaknya masih di Sumedang. Dia mengira ditempatkan di Pasuruan hanya sementara, untuk membenahi manajemen kantor yang amburadul. Sekedar tahu, Pak Zul masih muda, usianya baru menginjak 38 tahun saat itu.

"Hati-hati dengan saya, saya sedang menginjak puber kedua lo," godanya kala itu. Aku hanya tersenyum karena aku tahu itu hanya guyon. Di samping itu, aku tahu dia sudah berkeluarga. Anaknya juga sudah tiga. Dan, aku pun juga sudah berkeluarga. Namun, setan memang lebih pintar dari manusia. Kesempatan selalu saja dibuka bagi mereka yang berpikiran picik dan sementara. Itulah yang terjadi padaku. Sejak kami berkeliling kota berduaan, aku merasa ada yang berbeda dengan Pak Zul. Cara dia menatap, cara dia tersenyum, cara dia memperlakukanku, sungguh sangat lain. Aku begitu tersanjung. Atau, mungkin, aku terlalu GR (Gede Rasa), aku tak tahu. Aku sendiri sampai takut pada diriku sendiri. Jangan-jangan aku mulai jatuh simpatik padanya. Atau, malah jatuh cinta padanya. Ah !

Bahkan, dalam pertemuan-pertemuan berdua karena kepentingan kerja selanjutnya, dia seringkali menyisipkan pertanyaan-pertanyaan pribadi yang begitu memperhatikanku. Misalnya, ketika aku baru potong rambut, ia bertanya, ”Tata rambutnya kok menawan, menatanya di salon mana ya ?” Aku pakai setelan baju dengan rok yang agak sedikit seksi, dia pun berkomentar bahwa aku sangat modis. Suatu ketika aku mencoba make up baru, dia tanpa sungkan memujiku bahwa aku sangat cantik. Hmmm... Terlebih dari itu, dia juga kerap menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Jika belum, dia pasti akan mengajakku untuk makan di luar bersama beberapa staf lainnya. Sebuah perhatian yang melebihi kapasitas seorang bos pada anak buahnya. Tak heran, aku pun merasa sangat istimewa di depannya. Namun, yang canggih, Pak Zul tak akan menanyakan hal-hal yang pribadi itu bila di depan karyawan lainnya. Dia sangat bisa menjaga privasi.

Suatu siang, ketika kantor sepi, terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan oleh masyarakat umum, tetapi aku inginkan. Saat itu aku menyerahkan pekerjaanku kepada Pak Zul. Kebetulan aku bekerja di bagian administrasi yang langsung bertanggung jawab kepadanya. Ketika aku masuk ruangannya, Pak Zul memang sedang tidak duduk di kursinya, tetapi baru saja dari kamar mandi di ruangan itu. Ia tampak begitu segar. Dia menyambutku dengan senyum seperti biasanya.Tetapi aku sendiri merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku seperti mulai tertarik dengan lelaki simpatik ini. Entah itu karena "witing tresno jalaran saka kulina", atau karena aku merasa perhatian suamiku, Mas Robby, kepadaku sudah mulai pudar.

Ketika aku menyerahkan berkas, tangannya menyentuhku. Entah itu disengaja atau tidak, yang jelas aku merasa seluruh sendiku bergetar.
"Kamu menggoda dan seksi sekali hari ini, Tan," bisiknya nakal. Mendengar nada suaranya, jiwaku melambung tinggi. Tanpa aku sadari, aku langsung menatap matanya dengan pandangan mataku yang mungkin seperti wanita "haus belaian". Tetapi, sebenarnya, aku juga menangkap ada sinyal sama di mata Pak Zul. Pasalnya, entah bagaimana awalnya, ia tiba-tiba menjadi sangat dekat denganku. Dan, ketika dia mulai memelukku dan bibirnya sudah mengulum cuping telingaku, aku seakan sudah terlena entah ke dunia mana.

Sejurus kemudian, ia sudah mencumbuku dengan keahlian seorang pecinta yang sangat ulung. Aku terbius dan hilang kendali. Bahkan, sambil masih memelukku, ia bisa mengunci pintu dari dalam tanpa aku merasa jengah atau risau. Aku merasa baru kali inilah aku mendapat sebuah sentuhan dahsyat dari seorang pria. Kami pun lalu bercinta dengan sangat nyaman di sofa depan meja kerjanya. Ah... betapa brengseknya aku, karena aku begitu menikmatinya. Gampang ditebak, pengalaman pertama itu ternyata menjadi candu. Hebatnya, meski Pak Zul kelihatan mabuk kepayang, dia sangat bisa menguasai diri. Kami tak langsung tancap gas di kantor untuk urusan asmara, tetapi memilih waktu dan tempat.

Affairku dengan bosku terus saja berjalan setahun kemudian, mulai dari kantor, di hotel bahkan aku juga sering berhubungan seks dengannya di rumah dinasnya setiap hari Sabtu. Karena, pada hari Sabtu, pembantunya pulang dan rumah kosong, sehingga kami pun menjelma menjadi dua sejoli yang dimabuk cinta. Urusan kantor tetap menjadi urusan kantor, urusan asmara menjadi asmara. Aku sendiri juga heran dengan kondisiku. Meski aku mabuk kepayang dengan Pak Zul, tetapi tidak mengendorkan perhatianku pada suamiku, Mas Robby. Ketika Mas Robby butuh pelayananku, aku pun menyerahkan diri sepenuhnya dalam rengkuhannya. Aku pun tak hendak membandingkan 'keperkasaan' mereka. Aku menikmati keduanya. Entah kenapa pada saat itu aku seperti kerasukan setan dari neraka yang paling jahanam, sehingga aku bisa begitu binal.

Memasuki tahun kedua, ternyata aku hamil. Aku sangat bingung. Bukan bingung bagaimana nanti melayani dua laki-lakiku, tetapi bingung soal benih siapa yang menjadi penyumbang darah dan daging anakku ini. Kepada Pak Zul, aku bisikkan bahwa anak dalam kandunganku adalah anaknya. Dia tidak gusar atau tertampar, dia menghadapinya dengan sebuah kedewasaan yang luar biasa. Tentu saja, aku tak perlu bilang pada Mas Robby bahwa janin dalam kandunganku adalah anaknya, karena itu sama saja membongkar aib sendiri. Edannya, meski aku hamil, aku tetap bercinta dengan keduanya. Bahkan, aku merasa pada saat hamil, gairah seksku sangat tinggi. Untunglah, kedua laki-laki itu adalah laki -laki yang sangat berhati-hati. Mereka sangat berpengalaman dalam soal-soal intim terhadap wanita hamil. Dan, aku pun benar-benar sangat menikmatinya. Jika ingat saat-saat itu aku ingin mengutuk diriku sendiri.

Setelah sembilan bulan lebih tujuh hari, anakku lahir dengan selamat, tanpa cacat. Pada awalnya, aku khawatir jika dia mirip dengan Pak Zul, karena aibku jelas akan terbongkar. Temyata dia tak mirip Mas Robby, juga tak mirip Pak Zul. Dia mirip aku. Jadi, selamatlah aku. Yang tidak selamat adalah kebingunganku. Aku masih terus bertanya-tanya, dia anak siapa ? Pertanyaanku itu berlangsung sampai sekarang. Bahkan, tak ada sifat dominan dalam diri anakku itu baik dari Mas Robby maupun dari Pak Zul. Untunglah dia laki-laki.

Oh ya, aku putus affair dengan Pak Zul ketika memasuki tahun ketiga dari dinasnya di Pasuruan. Dia diminta kantor pusat mengikuti training selama setahun di Jepang. Setelah dia pergi, aku pun mencoba menginsafi diri. Sebenarnya, ketika Pak Zul balik dari Jepang, dan berkantor di Jakarta, dia pernah mencariku lagi, tetapi aku menghindar. Aku tak ingin mengulang menimbun dosa lebih jauh lagi karena dosaku berimbas pada orang-orang di sekitarku. Ketika Akbar berusia dua tahun, ayah-ibuku mengalami kecelakaan tragis ketika berdarmawisata ke Kota Malang, Jawa Timur. lbu meninggal di rumah sakit. Ayah selamat, tetapi cidera pada kaki dan harus diamputasi, sehingga harus berkursi roda.

Tiga tahun kemudian, beliau berpulang menyusul ibu. Jika ada orang bilang semua itu takdir, itu memang benar. Tetapi, jelas ada sebabnya. Adakah sesuatu yang kebetulan di dunia ? Kondisi inilah yang menyisakan 'lobang hitam' di hatiku, yang terus membuatku merana. Tentu, aku tak bisa berterus-terang tentang semua ini kepada Mas Robby. Hanya kepada-Mu Ya Tuhan aku mohon pengampunan atas semua dosa-dosaku. Karena, hanya Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan Maha Pengampun. (Seperti dituturkan Tanti kepada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 556 Edisi Juli 2010