Thursday, April 21, 2011

Kelirumologi di Dunia Usaha


Benarkah paradigma ini :
Pengusaha las akan 'memaksa' pekerja agar lasnya lebih baik dan lebih banyak, dengan upah yang sekecil mungkin?
Bank membayar upah bankir jugak seminimal mungkin untuk menghindari spread dana negatip?
 Pekerja yang baik adalah yang bisa diperas jasanya sebanyak-banyaknya?
Manajer/mandor yg baek adl yg mampu memeras buruhnya sebanyak-banyaknya?
Benarkah apa yang diungkap di atas bisa dilaksanaken?
Yhak, sampai derajad2 tertentu memang bisa dijalanken. Dalam praktek, itu banyak dilakuken. Pertanyaannya, apakah itu langkah managerial yang tepat ? Lihat kasus2 sbb :
Jika gaji standar kepala cabang bank katakan 100, apakah Anda akan memilih bankir yang bergaji 150 menghasilken laba 1.000, atau yang bergaji 150 nyetor laba 1.500? Ini sudah cukup membuktiken bahwa meminimalken gaji untuk memaksimalken laba adalah sebuah kelirumologi.
Biarpun tidak selalu begitu, umumnya murah identik dengan murahan. Ujungnya adalah kualitas atau unjuk kerja yang buruk. Yang sering terjadi adalah niatnya ngirit, jadinya mbalah ngorot-orot. Tukang las murahan mengasilken las2an yang bocor2 melulu, copot2 melulu. Akibatnya repair, repair, dan repair lage. Jatuhnya lebih mahal!
Memaksimalken laba adalah konsep kuno. Yang sekarang terjadi adalah misalnya menaikken pangsa pasar, memuasken pelanggan, konsep stake holder, inovasi, terobosan, diferensiasi, dll, masih banyak lagi kiat2 untuk menghindari spread negatip (rugi). Meminimalken upah hanyalah satu dari sekian banyak cara.
Silahken simak juga struktur harga. Misalnya struktur harga adalah :
Biaya langsung :
-     Upah                  :     020
-     Material             :     100
Subtotal                   :                 120
Biaya tak langsung :
-     Overhead          :     020
-     Biaya modal     :     020
-     Transportasi     :     050
Subtotal                   :                 090
Total (HPP)             :                             210
Laba                        :     0                      040, sehingga harga jual 250.

Total harga 250. Dus, komponen upah hanya 4% dari keseluruhan harga. Maka, menekan upah, misalnya 20% dari pasaran cuma menghasilken penurunan harga 20% x 4% = 0.8% = 4. Tak banyak gunanya, to? Bukankah lebih efektip menurunken laba dari 40 menjadi 35?
Menekan upah hanya efektip jika komponen upah dominan.
Di negara kita, umumnya upah proporsinya kecil. Menekan upah lebih banyak mengundang kesulitan dari pada menaikkan laba.
Jika begitu, mengapa upah buruh rendah? Karena kombinasi kompetisi dan hukum penawaran & permintaan. Apapun, jika jumlahnya berlimpah, pasti jatuh harganya. Yang menjatuhkan upah bukan se-mata2 pengusaha. Itu karena sesama pekerja saling mendahului. Banting2an harga.
Kedua, faktor kompetisi antar perusahaan. Dulu harga CD-ROM sekeping 10.000 sekarang 1.000 dah dapet. Dulu naik montor mulók ke Jogjakarta 400.000 adalah kemewahan. Sekarang 165.000 saja. Apa akibatnya? Sudah pasti upah karyawan kesabet. Ndak bisa tidak. Siapa biang keroknya? Konsumen! Mereka dengan sewenang-wenang lari ke harga yang lebih murah. Harga jadi terinjek-injek. Termasuk upah. Pengusahahaha berada di tengah. Ia harus melayani pembeli karena merekalah sang raja. Konsumen memegang kekuasaan di koceknya.
Tetapi, konsumen juga tak bisa disalahken 100%. Sebab mereka di-iming2i harga yang lebih murah. Jadilah lingkaran setan yang ndak jelas ujung pangkalnya. Yang bisa kita pastiken adalah hukum permintaan & penawaran sebagai faktor paling dominan.
Faktor kedua adalah kompetisi.
Di negara (ex) komunis (dulu) faktor kompetisi dibusek. Partai yang menentuken upah dengan basis sama rata sama rasa. Terbukti itu ndak jalan. Karena yang rajin, yang berjiwa wiraswasta, yang serakah, yang pandai cari uang, disamaken dengan buruh2 yang bisanya cuma nyekrup.
Timbul kelirumologi : banyak di antara pembaca merasa tenaganya 'diperas'
oleh perusahaan. Merasa dinjek-injek. Mereka menyalahken dan memusuhi perusahaan. Akibatnya karyawan tsb jadi malas2an bekerja dan prestasinya memble. Cara berfikir yang demikian ini sangat destruktip. Justru merugiken karyawan ybs.

Bukan se-mata2 perusahaan yang menekan upah. Ada banyak pihak, yang jelas sesama pekerja saling mendahului, sesama perusahaan bersaing, dan hukum demand & supply, ditambah lagi konsumen yang se-wenang2.
Apakah perusahaan bisa lepas tangan? Sudah pasti tidak, ia merupakan satu
bagian dari berbagai faktor yang menyebabken rendahnya upah. Tetapi bisakah ia menaikken upah di atas harga pasar? Tidak bisa, ia akan kalah bersaing dengan perusahaan sejenis. Siapa wasitnya, yang menentuken siapa kalah-menang?
K o n s u m e n.
Pada akhirnya, yang menentukan upah kita bukan lagi pihak lain. Bukan pengusahahaha, bukan konsumen, bukan hukum penawaran dan permintaan. Tetapi kita, kita sendiri yang menentuken mo berpenghasilan berapa. Itu tak bisa diselesaiken dengan mencari kambing hitam.
Kita hanya punya satu pilihan : berprestasi. Jika itu tercapai, kita bisa mengatasi hukum penawaran & permintaan. Ibarat bisa mengatasi hukum gravitasi, kita tak bakalan kembola-kembali jatuh ke upah ngeres.
 Ini saya utarakan dengan amat sangat jelasnya dalam artikel saya tentang
sikap kerja, bahwa yang menentuken upah kita bukanlah pihak lain, tetapi ada tiga faktor, yaitu :
- Faktor Internal
- Faktor Internal
- Faktor Internal

Penulis: Sumardiono Brotosumarto (Kibroto)