Tuesday, April 26, 2011

Cinta di Balik Noda

Aku ditipu Irwan, yang ternyata sudah beranak dan beristri. Aku sempat dilabrak oleh istrinya. Bahkan, sempat pula dituduh merebut suami orang.  

Pesta sudah hampir. usai, tetapi hujan belum juga reda. Dingin pun serasa menusuk tulang. Padahal, sudah hampir tiga hari ini kesehatanku terganggu. Mestinya, dalam keadaan seperti ini, aku istirahat di rumah. Dokter pun kemarin sore juga menyarankan begitu kepadaku. Tetapi saran itu tak bisa aku lakukan. Aku telanjur menerima uang, dan itu artinya aku harus menyanyi di tempat ini. Untungnya, keluarga tuan rumah cukup baik kepadaku. Mereka penuh perhatian. Aku dipersilakan masuk ke sebuah ruangan, dan diajak ngobrol ngalor-ngidul sambil menunggu hujan reda. Beberapa di antara mereka sudah cukup mengenalku sebagai seorang penyanyi dangdut tersohor di Kota Yogya.

Sakit yang sedang aku derita, rupanya tak bisa aku sembunyikan dari beberapa kerabat dan tetangga tuan rumah itu. "Matamu tampak merah, dan wajahmu pucat," ujar beberapa orang di antara mereka kepadaku. "Sambil nunggu hujan reda, kamu tiduran saja dulu," celetuk salah seorang di antara mereka malah berusaha mencarikan tempat untukku dan mempersilakan aku untuk tiduran. Tetapi aku bergeming tak beranjak dari tempatku duduk-duduk bersama beberapa orang yang tersisa dalam pesta perkawinan itu. Mereka pun berusaha memaksaku. Aku hanya bilang terima kasih, dan meyakinkan mereka kalau aku tidak apa-apa. “Aku sehat-sehat saja. Cuma panas biasa, mungkin flu," kataku meyakinkan mereka. Kesibukan di tempat pesta, membuat mereka tak bisa terus menemaniku. Aku pun akhirnya sendirian. Lebih tepat ditinggal sendirian. Aku maklum, meski pesta telah kelar, bukan berarti tak ada kesibukan yang harus dikerjakan mereka. Aku maklum, dan aku pun mempersilakan mereka ketika mereka permisi kepadaku untuk suatu urusan.

Kesendirianku pun aku manfaatkan sebaik-baiknya. Kebetulan, besok ada ulangan. Aku manfaatkan kesendirianku untuk belajar. Membaca catatan-catatan pelajaran. Tetapi kondisi kesehatanku tak bisa diajak kompromi. Mata pelajaran yang besok hendak dijadikan ulangan itu, lewat begitu saja. Sama sekali tidak ada yang nyantol di otakku. Waktu telah hampir larut malam, ketika hujan reda. Tetapi aku tak bisa segera pulang, karena tiba-tiba aku pingsan. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku baru sadar setelah berada di rumah sakit. Orang pertama yang kulihat adalah ibuku. Matanya tampak berkaca-kaca menatapku. “Aku di mana ?” tanyaku spontan pada ibuku. Jawaban ibulah yang membuatku tahu bahwa waktu itu aku sudah berada di rumah sakit. Kenangan itu tak pernah bisa aku lupakan. Mungkin, sampai kapan pun. Sebab, saat itulah untuk terakhir kalinya aku bertemu ibuku. Bertemu dengan wanita yang melahirkan aku, yang juga amat menyayangi dan mengasihiku. Sungguh aku tak pernah menyangka, bila ibu akan meninggalkan aku secepat itu. Ibu mengalami kecelakaan dalam perjalanannya ke apotik untuk membelikan obat buat kesembuhanku.

Aku tidak bisa mengetahui secara langsung kematian ibuku. Aku baru tahu kalau wanita yang amat kucintai itu meninggal dunia setelah tiga hari kematiannya. Keluarga rupanya sengaja merahasiakan kematian ibu dari aku, mengingat kesehatanku waktu itu. Karuan saja aku menangis sejadi-jadinya, meski awalnya tak percaya. Kematian ibu tentu merupakan pukulan tersendiri buatku. Aku benar-benar merasa amat kehilangan. Tetapi hidup terus berjalan. Aku akhirnya sadar bahwa aku tak boleh larut dalam kesedihanku. Aku tak boleh terus-terusan meratapi kepergiannya. Aku harus memikirkan masa depanku, juga masa depan adik-adikku. Aku tak boleh menyerah begitu saja dengan keadaan. Aku harus merubah keadaan. Aku harus semangat dan tak boleh putus asa. lbulah yang mengajari hal ini kepadaku. Juga kepada kedua adikku, yang baru kelas empat dan kelas enam SD. Kami semua, meski tanpa sosok ayah, tak boleh cengeng. Ya, sejak ayah tergoda wanita lain, hingga akhirnya bercerai, ibu memilih tetap menjanda sambil membesarkan ketiga anak-anaknya.

Waktu terus berlalu. Aku tumbuh dan berkembang sebagai gadis yang cantik. Popularitasku sebagai penyanyi dangdut pun makin menjulang. Dengan susah-payah, aku pun berhasil menyekolahkan kedua adikku hingga tamat SMU. Memang, keberhasilan adik-adikku bukan dari aku semata, tetapi aku memiliki kontribusi yang cukup besar untuk keberhasilan mereka. Sebab, adik-adikku juga berusaha mencari uang sendiri dari jualan koran dan mengamen di bus kota. Setahun menjelang adik bungsuku tamat SMK, aku menikah dengan seorang lelaki. Namanya, Irwan. Tetapi rumah tanggaku dengan lelaki itu tak berlangsung lama. Baru setahun,menikah, kami terpaksa bercerai. Perceraian yang sungguh menyakitkan. Aku ditipu Irwan, yang ternyata sudah beranak dan beristri. Aku sempat dilabrak oleh istrinya. Bahkan, sempat pula dituduh merebut suami orang. Padahal, demi Tuhan aku tak tahu kalau Irwan yang mengaku masih bujang itu ternyata sudah berkeluarga. Barangkali, perkawinanku dengan Irwan tak pernah terjadi, andai saja Irwan tak pernah memperkosaku. Ya, aku menikah dengan Irwan setelah diperkosa. Sebenarnya, aku tak ingin menuntut Irwan untuk menikahiku, kalau saja akibat perkosaan itu aku tidak hamil. Terus terang, aku sendiri tak pernah mengira kalau baru sekali "berbuat" lantas hamil. Tetapi, memang begitulah kenyataannya.

Irwan memang sempat menyuruhku untuk menggugurkan kandunganku. Tetapi aku tak mau. Aku tak ingin menjadi jagal untuk darah dagingku sendiri. Aku tak ingin berdosa sebagai seorang pembunuh. Jika akhirnya Irwan bersedia menikahiku, aku sendiri juga tak tahu. Yang jelas, setelah berulang kali aku menolak keinginannnya untuk menggugurkan kandunganku, ia pun menyerah pada keputusanku. Kini, anakku sudah berumur enam tahun. Dia tumbuh dan berkembang sebagai bocah yang cantik, lincah dan lucu. Seiring dengan perkembangan usianya, Yuly, anakku itu, sering merasa tidak sama dengan teman-temannya sebaya. Dia mulai sering menanyakan papanya. Dan, aku sering dibuat gelagapan untuk menjawabnya. Puncaknya, aku katakan saja kalau papanya sudah meninggal dunia. Sejak itu, Yuly memang tidak pernah lagi menanyakan papanya. Kedua adikku amat menyayangi Yuly. Perhatian mereka begitu besar dan mendalam. Ini, tentu saja amat membahagiakan buatku. Tentu juga buat Yuly sendiri. Itulah sebabnya, meski tanpa kehadiran sosok seorang papa toh tidak mengurangi kebahagiaan Yuly. Dia pun tumbuh dan berkembang sebagaimana anak-anak yang normal. Perhatian dan kasih sayangku pun aku curahkan sepenuhnya untuk Yuly.

Satu ketika, tanpa aku duga-duga, Irwan muncul di rumah. Kedatangannya yang amat tiba-tiba itu sungguh amat mengejutkanku. Dia tak pernah memberi tahu, tiba-tiba muncul di rumah dan menanyakan anaknya. Aku sempat heran, mengapa tiba-tiba saja dia peduli dengan Yuly ? Bukankah dulu dia yang menyuruhku untuk menggugurkannya ? Tetapi Irwan buru-buru minta maaf. Dia pun menunjukkan penyesalannya yang amat dalam, ketika keinginan mengaborsi darah dagingnya itu aku singgung. Bahkan, dia sempat pula mengucapkan terima kasih kepadaku, karena hampir saja menjadi seorang pembunuh untuk anak kandungnya sendiri, kalau saja waktu itu aku menuruti keinginannya untuk aborsi. Hampir tujuh tahun tak bertemu, di mataku Irwan tampak banyak berubah. Sikapnya tak lagi sebrangasan dulu. Aku mengira, sesuatu yang luar biasa terjadi pada dirinya. Aku melihat, sorot matanya memendam kepedihan yang amat mendalam. Oh Tuhan, ada apa sebenarnya dengan lelaki ini ?

Setelah beberapa kali berkunjung ke rumahku, akhirnya aku pun tahu atas apa yang terjadi pada diri Irwan. Aku pun menjadi maklum, mengapa Irwan bisa berubah sebegitu drastisnya. Memang, Irwan mengaku kepadaku telah ditinggal minggat oleh istrinya. Ya, istrinya yang pernah menuduhku merebut suami orang itu, kecantol dengan lelaki lain, dan meninggalkan Irwan begitu saja. Irwan tidak hanya kehilangan istri, tetapi juga kehilangan anak satu-satunya yang terlahir dari istrinya itu. Sang istri tidak hanya membawa harta dan anaknya saja, tapi juga meninggalkan utang yang menggunung. Untung saja Irwan bisa menutup utang itu, meski belum sepenuhnya tuntas. Tetapi aku kira bukan itu yang menyebabkan Irwan berubah. Ada yang lebih dahsyat dari itu semua.

Ternyata benar. Menurut Irwan, umurnya tidak akan panjang lagi. Dokter telah memvonis atas penyakit yang mematikan dirinya. Namun, penyakit apa yang sebenarnya diderita Irwan ? la tidak mau berterus terang kepadaku. “Yang jelas bukan penyakit menular sehingga kamu dan Yuly tak perlu merasa takut,” kata Irwan waktu itu ketika aku desak untuk berterus-terang atas penyakit yang dideritanya. Entah mengapa, tiba-tiba saja hatiku tersentuh. Aku merasa kasihan sekali dengannya. Umurnya tidak akan panjang lagi. Aku menjadi sering terharu, setiap kali secara tak sengaja melihat Irwan menatap Yuly berlama-lama. Ia menatap Yuly seolah melihat sebagian dirinya yang akan segera ditinggalkannya. Tetapi bagaimana, aku telanjur mengatakan kepada Yuly bahwa papanya telah meninggal dunia ? Apakah aku harus berterus-terang kepada Yuly bahwa yang pernah aku katakan itu tidak benar ? Lama aku merenung atas apa yang mesti aku perbuat, sebelum akhirnya aku berterus-terang pada Yuly. Mata Yuly pun terbelalak ketika pertama kali aku beritahu bahwa Irwan adalah papa kandungnya. Dia sama sekali tidak percaya. Bahkan, ia mengataiku sebagai pembohong. "Dulu kata mama, papa sudah meninggal dunia !" sergahnya dengan amat polos.

Sulit sekali untuk meyakinkan Yuly bahwa memang Irwan-lah papa kandungnya. Dia telanjur mempercayai kata-kataku yang dulu, kendati itu tidak benar. Diam-diam, aku sangat menyesal atas kebohongan yang pernah aku lakukan padanya. Terlebih, melihat kesehatan Irwan yang kian hari kian memprihatinkan. Aku pun hanya bisa berharap, semoga sebelum waktunya tiba, Yuly percaya kalau Irwan memang papa kandungnya. Tapi sebelum Yuly mempercayai kalau Irwan adalah papanya, Irwan terlebih dahulu dipanggil Tuhan akibat kanker otak yang dideritanya. Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosaku dan dosa-dosa Irwan. (Seperti yang dikisahkan Ny.Lena Irwansyah pada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 558