Thursday, April 21, 2011

Pasrah Dalam Penantian

Sesal datangnya selalu terlambat. Jika saja kusadari betapa berartinya hidup ini sejak awal, pastinya aku tidak akan menyia-nyiakannya. Ya, siapa yang mau menjalani hidup sebagai mantan pecandu narkoba? Apalagi sampai terinveksi virus HIV/AIDS.

Lembar demi lembar sejarah hidupku yang penuh noda, kuharap menjadi  pelajaran bagi banyak orang. Dulu, mungkin aku bukanlah anak manusia yang pandai berucap syukur. Status sosial orangtuaku yang berkecukupan membuatku mudah terjerembab pada lingkungan yang buruk. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, papa dan mamaku sangat memperhatikan dan memanjakan aku, apalagi jarak usiaku yang cukup jauh dengan kedua kakakku membuat kedua orangtuaku terutama papa teramat sayang padaku.

Niken, nama terindah yang telah diberikan untukku saat aku dilahirkan 17 Agustus 1991. Sayang pada saat cinta kasih mereka belum penuh kurasakan, papa dan mama harus bercerai. Kala itu umurku baru 7 tahun. Papa tinggal di Jakarta dan mama tinggal di Surabaya, sementara kami bertiga diasuh nenek di Yogyakarta. Sejujurnya, meski mendapat limpahan kasih sayang dari nenek, aku merasakan sedikit kekosongan dalam hidupku karena hanya sekali dalam setahun aku bertemu orangtuaku. Waktu itu entah mengapa aku merasa berbeda dengan teman-temanku yang lain.

Mungkin sebab itu juga, menginjak kelas V SD aku menjelma jadi bocah perempuan nakal. Tak urung nenekku kerap kubohongi bila menginap di rumah teman untuk bermain. Aku berdalih mengerjakan tugas sekolah. Begitu juga ketika menginjak bangku SMP, kenakalanku pun bertambah. Aku mulai mencoba merokok karena melihat teman-teman wanitaku melakukannya. Aku juga mengenal ganja dari teman sekelasku. Awalnya barang-barang itu kurasakan tidak enak dan membuat kepalaku pusing. Alhasil barang itu tidak sampai membuatku kecanduan setan budak narkoba. Naik kelas tiga SMP, pergaulanku yang semakin liar menambah daftar kenakalanku. Saat itu aku mulai bergaul dengan mereka yang membawaku ke kafe-kafe yang menjual minuman keras di daerah Prawirotaman dengan dandanan orang dewasa agar diperbolehkan masuk.

Pada tahun 2007 aku dan teman-temanku merayakan pesta di suatu tempat di Parangtritis. Di sanalah aku yang saat itu baru berusia 16 tahun berkenalan dengan putauw untuk kali pertama. Waktu itu seorang teman membawa barang itu dan membagikannya pada kami. Aku yang semula tidak mengetahui putauw dan cara penggunaannya dengan cepat belajar dari mereka. Itulah untuk pertama kali aku mengenal barang haram itu, hingga akhirnya terjerat dalam lingkaran setan budak narkoba.

Setelah malam tahun baru itu, bisa dibilang aku mulai tidak bisa jauh dari putauw. Seminggu sekali aku rutin menggunakan serbuk haram itu ke tubuhku. Saat itu aku mulai merasakan sakit pada tubuhku. Baru kutahu kalau itu tanda aku tengah sakau dan seorang teman memberi saran agar aku sering-sering menggunakan barang itu ke tubuhku agar rasa sakaunya hilang.

Saat itu aku mulai berpikir putauw adalah obat dari penyakitku, akhirnya hari-hariku diisi dengan aktivitas nyuntik. Dari yang semula seminggu sekali, seminggu dua kali, meningkat jadi seminggu tiga kali. Tak terkira berapa banyak serbuk nista itu telah mengalir dalam darahku. Tak urung gara-gara barang haram ini, kepribadianku spontan berubah pula. Dengan cepat aku menjadi sosok pembohong, bahkan menjadi pencuri. Cara apa pun kulakukan untuk mendapatkan uang agar dapat membeli putauw. Karena tak ada jalan lain untuk mendapatkan uang dengan cara cepat, sementara kebutuhan untuk membeli putauw semakin meningkat, maka aku pun mulai menjajakan diriku pada turis-turis yang aku kenal di kafe-kafe Kota Yogyakarta ini. 

Ya, aku pun mulai menjual diri agar bisa mendapatkan uang dengan cepat untuk membeli putauw. Aku pun berpindah-pindah pelukan dari lelaki yang satu ke lelaki lainnya hingga aku bertemu Iqbal yang Indo-Arab. Kami menjadi sangat akrab kala dia juga mengaku dari Kota Surabaya sama seperti aku. Sejak itu tak jarang kami pulang ke Surabaya bersama-sama. Kami memang sudah berikrar sebagai teman dan dia bukan pelangganku.

Namun, di luar dugaanku, ternyata hubungan kami tak hanya sekedar teman. Kusadari itu kala suatu hari Iqbal mendesak ngajak aku tidur bersamanya dengan alasan dia takut tidur sendirian di kamar yang memang ukurannya tidak kecil, kamar yang luas dan lengang. Memang, malam itu dia menginap di rumahku setelah acara open house di rumah salah seorang teman kami, tak jauh dari rumahku. Rumahku memang besar dengan kamar yang besar pula. Malam itu hujan deras mengguyur Yogyakarta. Iqbal tiba-tiba saja memeluk tubuhku erat-erat namun aku merasakan tidak menyesakkan sebagai orang yang sudah berpengalaman dalam hal lender, aku memang sudah terbiasa menghadapi laki-laki yang berperilaku begini. Aku sendiri sejak awal sudah menduga akan terjadi hal-hal seperti ini. Hanya saja kali ini aku merasa aneh, kenapa justru kenyamanan yang kurasakan? Ah … dengan sedikit bingung, aku mengelus bahunya menenangkannya. Lalu dia memandangku. Lagi-lagi perasaan aneh itu datang lagi. Ternyata aku terpesona padanya. Dia seperti magnet yang mampu menarikku. Kharismanya sungguh dahsyat.

Pada akhirnya malam itu menjadi malam pertama yang merubah hidupku. Pada malam yang diguyur hujan itu tak hanya sekali saja Iqbal membawaku terbang melainkan berkali-kali. Sejujurnya, aku belum pernah merasakan seperti malam itu bersama laki-laki mana pun. Padahal aku sudah tidur dengan seabrek laki-laki pribumi maupun bule. Mereka terasa tak sehebat Iqbal dalam bercinta karena aku memang merasa ada perasaan lain pada Iqbal, kharismanya.

Sejak hari itu juga aku merasa punya cinta. Iqbal ada di hatiku dan hidupku. Selanjutnya, kami pun hidup berdua layaknya sepasang suami-istri. Iqbal memang sosok laki-laki yang sempurna di mataku. Dia bisa membuatku bahagia dengan canda tawanya dan juga memuaskan hasrat sesaatku atau libidoku yang begitu menggelora.

Tapi, sekalipun bangkai ditutup rapat-rapat baunya akan tercium juga. Kira-kira begitulah pepatah yang akhirnya membuka aib kami masing-masing. Diawali ketika Iqbal pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Di tangannya aku menemukan bekas suntikan. Dari situlah aku tahu kalau dia seorang pemakai juga. Akhirnya aku akui juga kalau aku pun berteman akrab dengan barang haram itu. Jadilah topeng yang selama ini tertutup rapat akhirnya terbuka juga.

Hanya saja perjalanan asmara kami ternyata berbuah duka. Kami pun seperti sepasang makhluk yang dikutuk. Pada awal tahun 2009 kami divonis oleh pihak medis sebagai ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) positif. Saat itu aku serasa disambar petir antara percaya dan tidak. Aku marah, malu dan beribu rasa kecewa menghunjam jiwaku. Aku begitu shok. Aku hampir gila karena tekanan batin yang kurasakan. Namun, dengan sabar, Iqbal menyadarkan aku dari kekosongan jiwaku. Sebelumnya dia memang sudah bertobat terlebih dulu. Dia merasa apa yang menimpa kami ini adalah peringatan dari Tuhan. Dia tidak mencari kambing hitam siapa yang bersalah di antara kami. Dia yang mengurus semua pengobatan kami. Kami harus selalu mengecek kesehatan kami seminggu 2 kali. Walaupun aku kerap kali mengamuk karena aku merasa dia adalah biang keladi dari semuanya ini tapi Iqbal dengan sabar terus menuntunku menuju kesadaranku sepenuhnya agar kami bisa kembali ke jalan yang diridloi-Nya.

Namun, tak lama kemudian, Iqbal pergi mendahuluiku. Dia meninggal dengan sangat tenang. Aku pun sadar, suatu hari nanti aku akan melalui jalan yang sama dengannya. Ketika dia dimakamkan, aku hanya bisa berucap,”Selamat jalan Iqbal”. Itu pun hanya bisa aku gumamkan dalam tangis yang tak jua membawa perubahan.

Aku pun mulai berbenah dan mencari bekal untuk perjalanan panjangku ke akhirat kelak. Dan, aku memilih tinggal di sebuah pusat rehabilitasi untuk para penderita HIV/AIDS sambil menunggu waktuku tiba. Ya Tuhan… ampuni semua dosa-dosaku. (Seperti dituturkan Niken kepada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 553 Edisi April 2010