Saturday, April 23, 2011

Menjadi “Kaya” Tanpa Harus Berlimpah Harta

Malam itu si Bejo gelisah di tempat tidur. Matanya menatap kosong langit-langit rumahnya yang disana sini sudah keropos dan bocor. Istri dan anaknya yang bungsu sudah terlelap dalam pengapnya udara di kamarnya. Kipas angin tuanya tidak lagi mampu menyejukkan udara kamarnya meski hujan sejak siang deras mengguyur. Pikirannya berkecamuk tak menentu. Ada kegundahan yang mendalam di benaknya. Kegundahan atas nasib yang tak kunjung berubah meski ia telah bekerja sepenuh hati membaktikan dirinya di perusahaan selama hampir dua puluh tahun.
Masih terngiang ”sambatan” istrinya sore tadi. Gaji bulan ini sudah menipis, sementara hari gajian berikutnya masih dua minggu lagi. Padahal ada kebutuhan yang memerlukan biaya ekstra, sementara gaji yang tersisa hanya cukup untuk makan sehari-hari. Atap rumah bocor, tv rusak, ibu mertuanya sakit dan minta bantuan biaya berobat, tarif air dan listrik naik, sekolah anaknya menagih cicilan uang gedung dan anak bungsunya yang terus merengek   minta   dibeli-kan sepeda  seperti yang dipunyai teman sebayanya yang tinggal di sebelah rumah membuat matanya jadi sulit terpejam.
Tiba-tiba muncul amarah dalam hatinya. Ia marah kenapa Tuhan tidak juga memberinya rezeki lebih, padahal dia sudah bekerja keras dan disiplin, sholat dan tak pernah melewatkan waktu untuk berdoa selepas sholat memohon kepada Tuhan agar dilancarkan rezekinya. Sementara itu, tetangga dan teman kantornya terlihat begitu mudah meraih apapun yang diinginkan. Mobil bagus, rumah lengkap dengan perabotnya. Sedangkan dirinya, jangankan mobil, sepeda motor saja baru bisa dibelinya setelah mendapat pinjaman dari koperasi kantornya. Sepetak rumah yang ditempatinyapun hanyalah warisan dari orang tua istrinya. Bukan dari jerih payahnya sendiri yang pernah diangan-angankannya sewaktu baru menikahi istrinya dulu.
”Apa salahku, Tuhan? Aku selalu berbuat baik pada sesama, sholat kujalani sesuai dengan titah-Mu, tapi kenapa Engkau biarkan aku terpuruk dalam kesulitan ekonomi seperti ini?” gumamnya lirih. Sesaat ia menoleh ke anaknya yang tidur berhimpitan satu ranjang dengan dia dan istrinya.
Diusapnya kepala si anak yang masih berusia tiga tahun itu dengan lembut sembari berujar ”Maafkan bapakmu yang bodoh ini, nak. Bapak sangat ingin membahagiakanmu, kakak-kakakmu dan ibumu, tapi apa daya bapak? Bapak tidak tahu harus berbuat apa agar kita bisa punya uang banyak..Maafkan bapak ya, nak.” Dipeluknya tubuh mungil anaknya. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca, dadanya terasa sesak. Himpitan masalah lama ditambah dengan masalah baru yang muncul belakangan dirasakannya semakin memberatkan pikirannya. Entah berapa lama Bejo tercenung dan sesekali mengusap air mata yang membasahi dahinya. Pelahan dipejamkan matanya. Kini ia mengutuk dirinya sendiri yang dianggapnya sebagai laki-laki yang gagal. Yang kalah dalam menghadapi pertarungan hidup yang semakin tak menentu. Yang hanya bisa bermimpi tapi tak punya peluang untuk mewujudkannya. Bisa jadi, banyak Bejo Bejo lain yang malam itu hatinya dipenuhi dengan amarah, kekecewaan dan semua perasaan lain yang timbul sebagai akibat dari munculnya ”perasaan kegagalan merubah  nasib”. Para  Bejo yang   berangan-angan   mempunyai  harta  melimpah  dan    dengan hartanya itu dia penuhi semua keinginannya, tapi pada kenyataannya cuma ada seribu rupiah di dompet kumalnya. Dianggapnya Tuhan tidak lagi boloan dengannya, karena doa yang selalu dipanjatkan agar nasibnya berubah tidak pernah terkabul. Tapi kalau saja Bejo waktu itu berada di sebuah pasar bersama istrinya dan tiba-tiba sebuah bom meledak tak jauh dari dirinya apakah Bejo masih akan meratapi kondisi keuangannya yang buruk? Atau kalau saja malam itu Bejo berada di sebuah desa di lereng gunung Argopuro dan tiba-tiba air bah bercampur lumpur dan batu-batu sebesar kerbau meluluh lantakkan rumah-rumah dan apapun yang dilaluinya, apakah Bejo masih akan meratapi ketidak-mampuannya membelikan anaknya sepeda?
Atau kalau saja suatu malam Bejo pulang larut sehabis lembur dan tiba-tiba di jalan yang sepi sekelompok orang menghadang dengan belati terhunus meminta dengan paksa sepeda motornya, apakah Bejo masih akan mengutuk kemiskinannya?

Mudah-mudahan saja tidak. Karena Bejo seharusnya menyadari kalau yang namanya rezeki dari Tuhan bukan melulu berwujud harta benda. Kesehatan dan keselamatan diri dan keluarganya juga merupakan rezeki yang nikmat dan tak ternilai harganya yang diberikan Tuhan kepada umatNya. Seharusnya Bejo bersyukur karena malam itu ia bisa berbaring dengan nyaman di ranjangnya bersama istri dan anak-anak yang dicintainya. Seharusnya Bejo bersyukur karena ia dikaruniai anak-anak yang pandai dan sehat, istri yang setia mendampinginya meski kondisi ekonomi keluarganya ”megap-megap”. Seharusnya Bejo bersyukur karena bukan dia yang menjadi korban ledakan bom di pasar yang membuat dua orang bocah yatim piatu pada Minggu pagi di awal tahun 2006 itu. Seharusnya Bejo bersyukur rumahnya tetap tegak berdiri karena tidak ada banjir bandang. Seharusnya Bejo bersyukur karena bukan dirinya yang bersimbah darah tertelungkup di jalanan sepi akibat ulah penjahat yang merampas sepeda motornya. Seharusnya Bejo bersyukur karena sebenarnya dia ”kaya” dalam ketidakkayaan materi.
Mudah-mudahan Bejo menyadari bahwa Tuhan memberikan rezeki dalam cara-cara yang tidak terduga. (da)