Wednesday, May 18, 2011

Raja dengan 4 Istri

Alkisah pada suatu masa hiduplah seorang Raja yang gagah perkasa dan disegani oleh seluruh rakyatnya. Sang Raja hidup makmur ditengah kerajaan yang dipimpinnya. Bukan saja berlimpah harta benda, namun Baginda juga memiliki 4 (empat) orang istri yang begitu dicintai oleh Baginda.
Raja paling mencintai istri keempatnya. Setiap hari Raja selalu melimpahkan makanan yang lezat, pakaian yang indah dan perhiasan yang mahal kepada istri keempatnya. Pokoknya hanya yang terbaik yang diberikan pada istri keempat.
Raja juga sangat bangga pada istri ketiganya. Dalam setiap pertemuan, Raja selalu memamerkan istri ketiganya pada pejabat-pejabat kerajaan yang lain dan pada tamu-tamunya. Memang istri ketiga ini sangat mempesona dan mampu memikat siapa saja.
Selain itu Raja juga menyayangi istri kedua yang selalu menjadi tempat curahan hatinya. Kapan saja Raja membutuhkan kehadirannya untuk berbagi rasa, istri keduanya selalu siap menghibur Baginda. Istri kedua-lah tempat Raja melipur lara dan melepas lelah setelah seharian mengurus masalah-masalah kerajaan.
Berbeda dengan pada ketiga istrinya, sikap Raja terhadap istri pertama kurang memperhatikan. Betapapun istri pertama selalu berusaha memberikan perhatian pada Raja dan selalu mengingatkan Raja dikala Raja membutuhkan pertimbangan, namun tetap saja Raja kurang memberikan perhatiannya pada istri pertama. Padahal istri pertama inilah yang selalu setia menemani sang Raja sejak Baginda masih belum diangkat menjadi Raja.
Suatu hari, sang Raja menderita sakit yang teramat parah. Baginda merasa ajalnya sudah dekat. Untuk itu, dipanggilnya istri keempatnya, istri yang paling dicintai. “Wahai istriku, ajalku sudah dekat. Selama ini aku teramat mencintaimu. Maukah engkau menemaniku saat aku wafat nanti?” tanya sang Raja. “Wahai Rajaku, engkau memang suamiku disaat engkau masih hidup, tapi kalau engkau meninggal, aku tak sudi menemanimu lagi!” jawab istri keempat dengan sinis dan segera meninggalkan Raja.
Raja hatinya terluka. Segera dipanggilnya istri ketiga. “Istriku yang paling kubanggakan, kalau ajal menjemputku nanti, bersediakah engkau untuk setia padaku?” tanya Raja. Istri ketiga menjawab dengan angkuhnya “Hidup ini terlalu indah untuk ditinggalkan, Baginda. Karena itu sepeninggal Baginda nanti, saya akan segera menikah lagi dan menjadi milik orang lain”. Istri ketiga pun berlalu meninggalkan sang Raja.
Dengan hati yang teramat perih, Raja memanggil istri keduanya. “Wahai istriku yang sangat kusayangi, selama ini hanya engkaulah tempat curahan hatiku. Engkau selalu ada di saat aku membutuh-kanmu. Karena itu, maukah engkau menemaniku saat ajalku tiba nanti?”. Dengan berlinang airmata istri kedua menjawab “Hamba memang sangat menyayangi Baginda. Namun di saat Baginda wafat nanti, hamba hanya bisa bersedih dan mengantar Baginda sampai di liang kubur saja. Mohon beribu maaf, Baginda”. Istri keduanya berlalu meninggalkan Raja dalam kesepiannya.
“Oh, siapakah yang bersedia menemaniku di liang kubur nanti?” keluh sang Raja dalam keputusasaannya. “Hamba, Baginda! Hambalah yang akan senantiasa menemani Baginda meskipun ajal telah menjemput nanti”, tiba-tiba terdengar suara yang sangat lirih. Betapa kagetnya sang Raja ketika menoleh dan dilihatnya istri pertamanya. Kondisinya kusut masai, tubuhnya kurus seperti kurang makan, pakaiannya compang-camping tak seperti layaknya istri raja.
Kisah tadi hanyalah sebuah ilustrasi saja. Semua itu menggambarkan diri kita. Sebenarnya kita semua memiliki 4 “istri”. Istri keempat yang paling kita cintai adalah tubuh (raga) kita sendiri. Setiap hari kita selalu mendandani diri kita dengan pakaian yang bagus, aksesori yang mahal dan melahap makanan yang enak-enak. Setiap kali kita memiliki rejeki, pasti kita habiskan untuk menyenangkan tubuh kita. Padahal tubuh/raga kita akan segera terpisah begitu ajal menjemput kita. Dalam sekejap ia akan menjadi tanah.
Istri ketiga yang selalu kita banggakan adalah pangkat dan kedudukan. Ia begitu mempesona siapa saja, sehingga “wajar” kalau kita bangga saat bisa memilikinya. Padahal begitu kita meninggal, ia akan segera menjadi milik orang lain yang menggantikan kita.
Istri kedua yang sangat kita sayangi dan menyayangi kita adalah keluarga (istri/suami dan anak-anak). Merekalah tempat curahan hati, namun bagaimanapun mereka hanya bisa menangis dan mengantar kematian kita sampai di liang kubur saja. Kesedihannya tidak akan bisa menemani kita sampai ke alam kubur.
Istri pertama yang selalu setia namun ironisnya seringkali kita lupakan adalah jiwa/ruh/nurani kita. Karena sibuk mengejar kenikmatan duniawi seringkali kita lupa memberi makanan bagi “ruhani” kita. Nurani kita menjadi tumpul ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang merujuk pada kenikmatan dan kemegahan duniawi. Ruh kita kurang makan dan tak mendapat “pakaian” yang layak karena kita hanya sibuk dengan hal-hal yang bersifat “ragawi”. Padahal ruh itulah yang akan menemani kita sampai di alam kubur kelak. (Ira, dari internet)