Thursday, May 19, 2011

Luka di Atas Luka

Begitu kasarnya, rok serta celana dalamku sampai robek. Secepat kilat pula laki-laki jahanam itu merenggut mahkotaku.

Aku pulang dari rantau setelah bertahun-tahun di negeri orang. Oh ... Malaysia..... lagu itu terasa indah di telingaku. Dan, aku sangat suka menyanyikannya. Terlebih setelah kumiliki kenangan di Malaysia, lagu itu terasa hanya milikku seorang. Ya, aku memang memiliki kenangan indah di negeri jiran tersebut. Kenangan yang tak terlupakan. Namun kenangan indah itu seolah terampas oleh kenangan pahit yang membuatku trauma. Empat tahun aku bekerja di Malaysia. Tentu bukan waktu yang singkat. Di sana pula kurajut tali asmara dengan seorang laki-laki asal Sumedang, Jawa Barat. Disanalah kami bertemu. Di sana pula kami merasa senasib, seperjuangan dan seperjalanan. Kisahku menjadi kisahnya, kisah dia menjadi kisahku pula. Itulah awal kebersamaan kami. Kala itu dia, kekasih yang biasa kupanggil dengan panggilan Kang Surya, bekerja sebagai kuli bangunan. Sementara aku, bekerja sebagai PRT di sebuah keluarga besar. Kami berdua sama-sama berada di Telang. Oleh karena itu kami memiliki waktu cukup untuk bertemu. Bahkan aku juga memiliki kesempatan (terkadang) menyisihkan sedikit makananku untuk Kang Surya.

Di keluarga Ping Tjwan tempatku bekerja aku bukan satu-satunya PRT. Di sana ada dua orang PRT lain, tetapi mereka laki-laki semua, dan keduanya berasal dari Sidoarjo, Jawa Timur. Keluarga Ping Tjwan memiliki usaha konveksi khusus pakaian dalam wanita. Jika boleh kusebut, usaha mereka semacam home industry, yang tempatnya di samping rumah, di bagian belakang. Kami para PRT tidak diijinkan ke tempat konveksi. Demikian pula para buruh di tempat konveksi, tidak diijinkan masuk ke dalam rumah tinggal keluarga Ping, kecuali orang-orang tertentu. Kami masing-masing telah memiliki bagian dan pekerjaan yang berbeda. Tetapi bukan itu yang aku ceritakan.Yang jelas, aku merasa betah bekerja di keluarga Ping. Namun terus terang, terkadang aku tidak cocok dengan masakannya. Perlu kujelaskan, keluarga Ping memiliki tukang masak, yang setiap hari datang pergi dan pulang setelah usai memasak. Karena masakan mereka masakan yang terkadang menggunakan lemak babi, maka aku masak sendiri. Artinya, aku masak untuk tiga orang, yakni untukku dan untuk dua temanku yang lain. Sekali lagi, hal itu sama sekali bukan masalah. Segalanya berjalan sebagaimana mestinya. Dan, aku menikmati kehidupanku di dalam keluarga Ping.

Sebagai PRT, aku mendapat libur satu minggu sekall, yakni setiap hari Minggu. Nah, hari libur itulah yang selalu kumanfaatkan untuk bertemu dengan Kang Surya. Terkadang kami sekedar jalan-jalan di plasa, sekedar makan di rumah makan Padang, belanja di pasar atau hanya duduk-duduk di taman pojok kota. Meski hubungan kami sangat biasa, tetapi aku menikmati hubungan tersebut. Apalagi Kang Surya mengaku masih jejaka, ah.....berbunga-bunga hatiku. Ini artinya, aku tak salah pilih. Sebab aku juga masih lajang. Kami berencana akan segera menikah jika kontrak kerja kami masing-masing telah usai. Sebuah rencana yang indah, seindah lagu "Semalam Di Malaysia". Dan, rencana itu telah kusampaikan pula pada orangtuaku melalui surat. Bahkan foto kami berdua (aku dan Kang Surya) sudah kukirim pula ke kampung halamanku. Itulah rencana.

Sampai suatu hari Kang Surya mengalami kecelakaan di tempat kerjanya. Ia terjatuh saat membawa Theodolite dan tulang keringnya (kanan) tertusuk besi hingga tembus ke tulang betis. Meski tidak sampai pingsan tetapi Kang Surya harus menjalani rawat inap di RS. Bahkan harus dilakukan operasi untuk mengeluarkan besi yang menancap tersebut. Aku sedih, sangat sedih ! Aku merasa kehilangan Kang Surya. Apalagi aku tidak memiliki banyak waktu untuk menunggunya di RS. Apa boleh buat. Aku terpaksa hanya sebatas menjenguknya di RS. Dan, itu semakin membuat hatiku remuk. Dapat kubayangkan betapa Kang Surya merasa kesepian. Di tanah rantau, dia tidak memiliki sanak-saudara masih harus menderita pula. Terlebih di rantau, Kang Surya hanya sebagai TKI ilegaI. Untung saja majikan Kang Surya mau bertanggung jawab. Semua biaya perawatan Kang Surya ditanggungnya.

Sementara Kang Surya meniti hari-hari sepi di RS, aku mengalami nasib yang lebih pahit. Suatu sore menjelang Maghrib, salah seorang karyawan konveksi keluarga Ping datang ke rumah tempatku bekeja. Ia mengantar beberapa gulung kain yang akan dimasukkan ke gudang dengan menggunakan gerobak dorong. Oleh karena kami sudah terbiasa bertemu, maka basa-basi pun kami lakukan. Kami bertegur sapa seperti biasanya. Lalu dengan logat Malaysianya yang patah-patah, laki-laki asal Pakistan itu menanyakan keberadaan majikanku yang perempuan. Tentu saja kujawab apa adanya bahwa yang dia cari sedang tidak berada di rumah. Senyum lebar terkembang di wajah laki-laki yang mengaku berasal dari Pakistan tersebut. Matanya nanar dan nyalang menyambar wajahku.

Dalam sekejap aku merasa tubuhnya yang hitam tinggi itu sudah mendorongku ke dalam gudang yang sepi. Dengan cepat pula tangannya yang kuat membekap mulutku. Aku sadar bahwa aku sedang dalam keadaan darurat. Aku sadar bahwa aku sedang dalam cengkeraman laki-laki "lapar". Tetapi tenagaku tak berarti apa-apa. Perlawananku sekuat tenaga, seolah habis dan bagai membuang energi cuma-cuma. Laki-laki itu benar-benar kasar ! Begitu kasarnya, rok serta celana dalamku sampai robek. Bahkan dengan sangat cepat celana dalamku tertanggal dari tempatnya. Secepat kilat pula laki-laki jahanam tersebut merenggut  mahkota keperawananku.

Dan, ketika dia lunglai dalam kepuasannya, dia pun lengah. Kesempatan tersebut kugunakan untuk menjerit sekuat tenaga. Dia seperti tersadar dari perbuatan bejadnya setelah aku menjerit. Laki-laki itu dengan cepat membekap mulutku lagi. Tapi terlambat. Suaraku telanjur keluar menembus dinding gudang. Beberapa saat kemudian pintu gudang dijebol seseorang dari arah luar. Laki-laki yang memperkosaku itu pun bergegas membenahi diri lalu kabur setelah sempat beradu jotos dengan dengan laki-laki lain yang baru masuk ke gudang. Aku menangis. Sementara gudang semakin gelap, karena lampunya memang tidak dinyalakan. Kusesali musibah yang baru saja terjadi. Ya, aku baru saja diperkosa. Aku butuh pertolongan. Maka aku pun lega ketika ada laki-laki lain datang sehingga si pemerkosaku lari tunggang-langgang dan tak pernah kembali lagi. Kabar yang kuterima belakangan, laki-laki yang telah memperkosaku itu pulang ke negaranya, Pakistan.

Akan halnya aku yang masih terpuruk dalam kesedihan dan keterkejutan luar biasa di dalam gudang yang gelap, berharap pertolongan datang dengan segera. Tapi aku bagai terayun dalam khayal sesaat. Sebab laki-laki lain yang baru saja masuk ke gudang dan berhasil menghalau si pemerkosaku tadi tak lebih baik dari pemerkosa pertamaku. Mulanya, laki-laki kedua itu memang sempat memelukku sambil berbisik menenangkanku. Kata-katanya tenang dan teduh. Bahkan ia sempat mengatakan akan mengantarku ke dokter. Ah... hatiku lega. Perasaanku sedikit tenang meski aku tak bisa menatap wajah laki-laki kedua tersebut. Gelap di dalam gudang semakin pekat. Bahkan udaranya terasa semakin gerah. Laki-laki itu masih berbisik dan berkata-kata dengan sangat pelan. Tetapi aku tak pernah mengenal suaranya. Dan, aku tak peduli dia siapa. Aku tak peduli meski dia seorang asing yang benar-benar asing. Bagaimana tidak asing ? Menangkap bayangan pun aku tak mampu. Dan, aku menurut saja ketika dia membimbingku berdiri. Oh ... aku nyaris tak dapat berdiri. Pangkal pahaku sakit sekali dan seperti diganjal batu kali sebesar bakul nasi. Pinggangku juga bahkan sangat sakit sekali. Tetapi aku mencoba melangkah mengikuti bimbingan laki-laki penolongku tersebut.

Dalam sesaat, dalam sekejap mata dan semua terasa sekonyong-konyong, aku bagai dibanting di atas tumpukan kain. Aku tak sempat berpikir. Berteriak pun tak sempat, serangan berikutnya sudah menyerangku dengan telak. Laki-laki penolongku itu membekap mulutku, lalu menyumpal mulutku dengan kain. Meski begitu, aku masih bisa bergerak kendati sangat terbatas, karena kedua tanganku dia ikat dengan kain pula. Ternyata laki-laki itu lebih kejam dari yang pertama tadi. Dia meninju ulu hatiku sampai aku tak bisa bernapas dan serasa mau pingsan. Dengan lebih kasar dan lebih kejam dari laki-laki sebelumnya, dia menarik bajuku dan melucuti semua kain yang menempel di tubuhku. Lalu, aku dibantingnya lagi, ditarik, ditendang sampai aku tak ingat apa-apa lagi.

Saat tersadar, aku seperti berada di antara alam nyata dan mimpi. Sekelilingku terasa putih dan bau alkohol keras menembus penciumanku. Samar-samar terdengar suara-suara, yang terkadang dekat dan terkadang menjauh. Sesaat kemudian, majikanku mendekatiku. Dia tidak banyak bicara. Lalu sesaat berikutnya, majikanku yang lain masuk ke ruangan menyertai seseorang, yang belakangan kuketahui seorang dokter. Aku berpikir sedang berada di RS. Ternyata aku keliru. Aku sedang berada di salah satu kamar di rumah majikanku. Kamar tersebut memang bercat putih dan bersih. Biasanya, kamar itu digunakan untuk tamu yang menginap. Di sanalah aku dirawat. Seorang pembantu perempuan (entah dari mana), rajin merawatku. Dokter juga rajin mengunjungiku. Hingga akhirnya aku benar-benar sehat dan sembuh.

Saat aku sudah diijinkan meninggalkan kamar tempatku dirawat, aku pun menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi padaku. Tetapi majikanku terkesan tutup mulut. Meski begitu, mereka tetap kunilai baik, bertanggung jawab hingga aku benar-benar sembuh dan diijinkan bekerja lagi. Bahkan aku juga diijinkan menikmati masa liburku di hari Minggu.

Minggu pertama sejak aku sembuh dari kejadian buruk yang menimpaku, aku langsung menuju ke proyek tempat Kang Surya bekerja. Ternyata Kang Surya sudah pindah ke barak yang lain di mana dulu ia pernah tinggal. Kakiku pun kuayun menuju ke barak yang dimaksud teman-teman Kang Surya. Aku baru saja sampai di sana ketika seseorang yang juga kukenal mengatakan bahwa Kang Surya sedang ada urusan dengan teman yang lain. Aku bermaksud menunggu Kang Surya. Di sana barang-barang pribadi Kang Surya seperti sepatu, tas dan beberapa lembar baju serta sebuah celana jeans milik Kang Surya teronggok di meja kayu kecil. Tanganku lancang menggerayangi kantong celana jeans Kang Surya. Apa yang kudapat ? Sepucuk surat dari kampungnya. Dengan lebih lancang, kubaca surat tersebut. Ternyata berasal dari istri Kang Surya. Ya Tuhan ! Aku merasa dibohongi dan dipermainkan oleh Kang Surya. Kekasihku itu ternyata sudah memiliki istri dan dua orang anak. Ketika aku bertemu Kang Surya, kekasihku itu tidak mengelak dari semua yang kutahu. Oh... betapa hancur hatiku.

Sejak itu aku tak mau keluar rumah. Kubunuh seluruh waktuku di rumah majikanku, hingga kusadari bahwa aku terlambat haid. Aku sempat minum jamu-jamu agar segera haid. Namun sampai dua bulan, bahkan empat bulan berikutnya ketika kontrak kerjaku habis, aku tetap saja tidak mendapatkan haid. Kubawa kepedihan jiwa-ragaku kembali ke tanah air setelah kontrak kerjaku usai. Aku tak ingin bekerja di luar negeri lagi. Dan, kusadari bahwa aku benar-benar hamil. Tetapi semuanya sudah terlambat. Tak ada lagi kesempatan untuk menggugurkan kandunganku karena janinku sudah telanjur besar. Pedih, sedih, malu dan segala rasa berbaur dalam dada. Namun, aku tak mampu berkata-kata sekedar membela diri. Dan, kubiarkan bayiku lahir tanpa kutahu siapa ayahnya. Bayiku laki-laki dan wajahnya mewarisi wajahku. Duh Gusti Allah, berikanlah kekuatan pada diriku ini. (Seperti dikisahkan oleh Paningsih pada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 562