Wednesday, June 1, 2011

Malam Jahanam

Entah setan mana yang merasuki jiwanya, hingga ia memaksa aku untuk melayani nafsu birahinya.  

Tak banyak yang bisa aku perbuat, kecuali hanya mendengarkan kawan-kawan SMA-ku bicara tentang perguruan tinggi yang akan dimasukinya.Sebenarnya aku ingin sekali seperti mereka. Tamat SMA masuk sebuah perguruan tinggi favorit. Otakku, aku rasa cukup mampu untuk itu. Tetapi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi otak saja tidak cukup tanpa dukungan dana yang memadai. Aku meski harus memupus impianku. Untuk bisa menamatkan SMA saja, perjuangan orangtuaku sudah habis-habisan. lbaratnya, kepala digunakan untuk kaki, dan kaki digunakan sebagai kepala. Jungkir balik, hutang sana hutang sini. Aku harus tahu diri, kalau aku bukan terlahir dari keluarga berada.

Aku pun mencoba menghibur diri, saat kawan-kawanku mengatakan kalau ingin sukses harus jadi sarjana terlebih dahulu. Aku menyangkal pendapat itu. Kenyataannya, banyak orang sukses tanpa harus menjadi sarjana terlebih dahulu. Bahkan, tidak sedikit yang hanya tamatan SD menjadi orang sukses dan hidupnya bergelimang harta. Jadi jangan salah sangka jika aku berpendapat demikian. Pendidikan tinggi, menurutku memang perlu. Tetapi hidup sukses bukan semata-mata ditentukan oleh gelar kesarjanaan seseorang. Ah, memang aku harus pintar-pintar menghibur diri agar keinginan yang tidak kesampaian tidak memicu munculnya pemberontakan diri yang tidak nalar. Barangkali, aku memang harus bisa menerima kenyataan seperti apa adanya.

Karena itu, setamat SMA aku mencoba mencari pekerjaan. Aku tinggalkan kampung halamanku, Wonogiri, Jawa Tengah. Aku ingin mengadu nasib ke Surabaya, Jawa Timur. Orangtuaku melepas kepergianku dengan berat hati. Mungkin karena aku ini seorang perempuan, dan baru kali ini bepergian jauh. Apalagi, kepergianku kali ini untuk mengadu nasib, sehingga tidak mungkin balik ke kampung halaman dalam waktu yang singkat.

Meski baru pertama kali menjejakkan kaki di Surabaya, tetapi aku tidak perlu bingung. Sebab, di kota metropolitan itu ada kakakku, sebut saja Mbak Nungky. Dia sudah berkeluarga. Kedatanganku yang tak pernah terduga-duga itu merupakan kejutan tersendiri buat Mbak Nungky sekeluarga. Kedatanganku pun mendapat sambutan hangat. Aku harus bersyukur dan bahagia sekali. Aku utarakan maksud kedatanganku ke Surabaya. Aku ingin mengadu nasib, meski hanya dengan bekal ijazah SMA. Mbak Nungky mendukungku, dan menyemangatiku.

"Memang Kanti, susah sih kalau hanya tamatan SMA. Itulah sebabnya, kamu harus kursus-kursus dulu, sebelum mencari pekerjaan," saran Mbak Nungky kepadaku. Aku maklum. Mbak Nungky benar, tetapi bagaimana dengan biaya untuk kursus-kursusku itu ? Kepada Mbak Nungky, aku pun mengatakan kalau aku mau bekerja apa saja, setelah berpenghasilan baru mencari kursusan. Ya, hanya dengan begitu aku tidak merepotkan Mbak Nungky. Tetapi rupanya Mbak Nungky tidak sependapat denganku. Aku malah tetap dimintanya kursus komputer, Bahasa Mandarin dan Bahasa Inggris, sebelum mencari pekerjaan. Dan semua itu atas biaya Mbak Nungky. Sebenarnya, aku merasa tidak enak dengan kebaikan Mbak Nungky yang aku rasa tulus itu.

Hari-hari pertama hidup di Surabaya, perasaanku penuh keterasingan. Kendati begitu, aku tak pernah surut dari keinginan semula, mengadu nasib dan menyusun masa depan. Aku yakin, perasaan ini hanya akan berlangsung sementara saja. Ya, sampai aku bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Dan, apa yang telah menjadi keyakinan itu terus aku pelihara. Suatu ketika, pembantu rumah tangga Mbak Nungky pamit pulang. Mbak Nungky dan suaminya, Mas Prasetyo, tidak berhasil mencegah kepergiannya. Kasihan aku melihat Mbak Nungky yang waktu itu sedang hamil tua. Apa boleh buat, sejak kepergian pernbantu rumah tangganya, segala pekerjaan rumah yang semula menjadi tanggung jawab pembantu, aku kerjakan. Untungnya hal tersebut tidak berlangsung lama, karena suatu hari seorang tetangga mbakku yang baru pulang dari Lamongan, Jawa Timur, ini membawa seorang wanita desa. Wanita itu ditawarkannya kepada mbakku untuk dijadikan pembantu. Mbak Nungky langsung setuju, dan sejak itulah aku diminta mengajari Emak, demikian aku menyebut pembantu Mbak Nungky yang baru ini, tentang apa-apa yang mesti dikerjakan.

Beberapa waktu kemudian, Mbak Nungky masuk rumah sakit untuk menghadapi proses persalinannya. Untuk sementara dua orang anaknya dipasrahkan kepadaku. Aku diminta merawat dan mengasuhnya baik-baik. Tanpa diminta pun, amanat itu mesti akan aku laksanakan. Sebab, bagaimanapun keponakan-keponakanku tak ubahnya anakku sendiri. Sejak masuk rumah sakit, tugas malamku menidurkan dan mengeloni kedua anak kakakku itu. Sementara melaksanakan tugas itu, aku berperang melawan perasaan harap-harap cemas atas persalinan Mbak Nungky. Aku selalu berdoa untuk kelancaran proses persalinannya. Aku terhadap, selamat untuk yang melahirkan dan selamat juga untuk yang dilahirkan.

Malam kedua Mbak Nungky masuk rumah sakit, peristiwa yang sama sekali tak pernah aku impikan terjadi tanpa aku bisa mencegahnya. Ketika aku sedang meninabobokkan kedua keponakanku, tiba-tiba kakak iparku menerobos masuk ke kamar kami. Semula, aku tak punya prasangka atau pikiran buruk apa pun. Aku pikir Mas Pras hanya ingin bermanja-manja dengan kedua anaknya. Tetapi apa yang terjadi, sungguh di luar dugaanku. Entah setan mana yang merasuki jiwanya, hingga ia memaksa aku untuk melayani nafsu birahinya. Aku berusaha habis-habisan untuk bertahan dan menolak ajakan tak terpuji itu. Tercium aroma alkohol dari mulut Mas Pras. Malam jahanam itu pun menjadi titik awal hancurnya hidupku. Aku tak bisa bercerita banyak, bagaimana aku mempertahankan keperawananku terhadap kakak iparku. Entah bagaimana, tiba-tiba aku merasa berada pada sebuah titik ketidakberdayaan yang menggiriskan.

Di bawah ancaman senjata tajam, aku diperkosa Mas Pras saat kedua keponakanku tidur pulas menggapai mimpi indahnya. Aku hanya bisa menangis, dan meratapi nasibku melihat noktah merah yang terpercik di seprei merah jambu itu. Hatiku serasa hancur berkeping-keping, dan pandanganku mendadak berkunang-kunang. Aku berharap, peristiwa di malam jahanam itu tidak akan pernah terulang lagi.

Tetapi, harapan itu tinggal hanya harapan. Sungguh betapa susahnya menerka ke mana perjalanan hidup akan membawaku. Betapa tidak, setelah peristiwa di malam jahanam itu, kelakuan kakak iparku semakin bejat saja. Tragisnya, aku semakin tak berdaya dan tak pernah menemukan jalan keluar. Mungkin ini kesalahanku sendiri, mengapa aku tidak berani nekad, misalnya balik ke Wonogiri saja ?

Sementara aku terus terlibat dalam permainan tak terpuji, aku menjalin hubungan dengan seorang lelaki sebaya, sebut saja Mas Yudha, seorang mahasiswa pada sebuah PTS di Surabaya. Hubunganku semakin hari semakin intim saja.Terus terang, di antara kami sama-sama saling mencintai. Satu ketika, tanpa aku duga-duga pula Mas Yudha minta bukti cintaku kepadanya. Semula, aku bingung. Aku tidak mengerti arah pembicaraan Mas Yudha. Karenanya, dengan polos kutanyakan kepadanya,"Apa yang bisa membuatmu percaya, kalau aku memang benar-benar mencintaimu, Mas Yudha ?" Mas Yudha membisikkan sesuatu ke telingaku. Aku baru paham, maksud Mas Yudha minta bukti cintaku kepadanya. Karena aku memang benar-benar mencintainya, maka tanpa pikir panjang langsung saja aku kabulkan keinginan Mas Yudha. Tetapi apa yang terjadi setelah kejadian itu berlangsung? "Kamu sudah tidak perawan lagi, ya?" demikian reaksi Mas Yudha ketika pertarna kali merasakan kehangatan tubuhku.

Mendapat pertanyaan begitu, aku bungkam seribu bahasa. Sungguh, aku tidal pernah menyangka kalau Mas Yudha akan mempersoalkan itu. Haruskah aku katakan yang sebenarnya bahwa kakak iparku-lah yang telah merampas mahkotaku ? Percayakah Mas Yudha akan pengakuanku ini ? Aku gelisah bukan main memikirkan hal itu. Waktu terus bergulir. Hubunganku dengan Mas Yudha terus berjalan. Aku agak sedikit lega, karena Mas Yudha tak lagi menyinggung soal kesucianku. Tetapi sejak itu, ia sering minta aku layani. Hubungan kami pun lambat laun lazimnya pasangan suami-istri. Setiap saat Mas Yudha ingin kehangatan tubuhku, aku pun berusaha untuk tidak mengecewakannya.

Singkat cerita, aku pun hamil. Tetapi aku tak tahu siapa yang lebih pantas disebut bapak oleh janin yang mengeram dalam rahimku ini. Sebab, selain dengan Mas Yudha, Mas Pras sering juga memaksaku. Sejauh itu, Mbak Nungky tidak tahu-menahu soal kelakuan bejad suaminya kepadaku. Aku sendiri juga tidak mungkin memberitahukannya kepada Mbak Nungky. Sementara kandunganku semakin berumur. Ingin rasanya aku menempuh jalan pintas, menggugurkan kandunganku. Tetapi, persoalannya, untuk sebuah jalan pintas itu butuh uang dan kenyataannya aku tak pernah mempunyainya. Akhirnya aku katakan kepada Mas Pras, dan jawaban yang aku peroleh, aku disuruh segera menikah dengan Mas Yudha.

Sekedar untuk diketahui, hubunganku dengan Mas Yudha juga sepengetahuan dirinya. Tetapi ketika aku minta pertanggungjawaban Mas Yudha, aku justru diminta menggugurkan si janin. Soal biaya, Mas Yudha yang akan menanggungnya. Karena tak melihat jalan keluar lain selain aborsi, maka dengan diantar Mas Yudha, aku berangkat ke daerah Malang Selatan untuk aborsi. Usaha aborsi gagal total, meskipun bermacam jampi-jampi dan ramuan-ramuan tradisional tandas aku tenggak. Apa boleh buat, meski terpaksa akhirnya Mas Yudha menikahiku juga.

Sekitar 6 bulan setelah melangsungkan pernikahan dengan Mas Yudha, aku melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Astaga, di luar dugaan, anak yang aku lahirkan itu menyandang banyak cacat fisik. Mulutnya sumbing, tidak mempunyai empat jari kecuali ibu jari saja, tidak memiliki jari kelingking dan jari manis sebelah kanan, serta telinga kirinya carat, seperti terlipat ke depan. Pertama kali melihat kondisi bayi kami yang demikian, aku dan Mas Yudha menangis sejadi-jadinya. Dunia serasa kiamat. Aku tidak tahu, apa yang mesti aku perbuat. Demikian juga dengan Mas Yudha. Haruskah aku membuang anakku di tempat sampah ? Oh Tuhan, maafkan hambaMu ini, jika sampai mempunyai pikiran yang demikian tidak terpuji.

Apa pun dan bagaimanapun keadaannya, aku akhirnya bertekad untuk merawat dan membesarkan bayiku yang cacat itu. Tetapi untuk mencegah agar hati kami tidak makin terluka oleh olok-olok dan nyinyir mulut para tetangga, maka bayiku aku besarkan dalam "persembunyian" yang sedemikian rupa ! Anakku senantiasa dalam keadaan terbungkus selimut rapat-rapat. Sebab, hanya dengan cara ini sejumlah kecacatannya tidak sampai diketahui orang lain.

Seiring dengan berlalunya hari, anakku tumbuh berkembang sebagai anak perempuan yang cantik, lucu, pintar serta menggemaskan meskipun cacat. Sementara anak kami makin tumbuh dan berkembang, Mas Yudha menjalin hubungan dengan wanita lain. Jika semula perselingkuhannya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, lambat-laun dilakukan secara terang-terangan. Mas Yudha seolah sengaja memancing emosiku, dan berharap aku minta cerai. Memang pada akhirnya aku minta cerai pada Mas Yudha. Tetapi ini semata-mata aku lakukan untuk menjaga hati dan perasaan anak kami yang cacat itu. Sebab, Mas Yudha sering melampiaskan kekesalan hatinya pada anak kami yang malang ini. Rupanya Mas Yudha belum bisa menerima kenyataan seperti apa adanya, hingga ia sering melampiaskan kekecewaannya pada anak kandungnya sendiri.

Ya Tuhan ampuni dosa-dosa hambaMu yang hina ini dan berikanlah petunjukMu agar aku bersama anakku dapat menjalani kehidupan di dunia yang fana ini atas ridhoMu, Amiin. (Seperti dituturkan Kinanti pada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 563