Sepulang dari kantor, aku mendapati Ratna dan Erna tidur berduaan dalam posisi berpelukan mesra tanpa busana di kamarku !
Usiaku baru lima tahun ketika mama meninggalkan aku untuk selama-larnanya. Mama meninggal dunia di saat melahirkan adikku, Ratna. Aku sendiri kala itu belum begitu mengerti arti kematian. Yang kuingat, ketika banyak orang menangisi jasad beku mama, aku pun ikut-ikutan menangis. Aku tidak tahu, mengapa tiba-tiba mataku pedas dan ingin sekali menangis seperti orang-orang itu.
Beberapa bulan setelah kematian mama, papa memboyong kami ke Jakarta. Di kota metropolitan itu papa menikah lagi. Selanjutnva, aku diasuh dan dibesarkan oleh ibu tiri kami, Tante Wanda. Semula sikap Tante Wanda kepadaku dan adikku baik-baik saja. Ia bahkan amat mencintai dan menyayangi kami berdua. Tetapi, sikap baik Tante Wanda itu ternyata tidak bertahan lama. Setelah Tante Wanda dikaruniai momongan, sikapnya kepada kami berdua berubah seratus delapan puluh derajat. Tante Wanda tidak lagi sayang kepada kami. Perhatiannya lebih banyak tercurah untuk anak kandungnya sendiri. Bahkan, kekejaman-kekejaman Tante Wanda mulai kami rasakan dari hari ke hari. Tetapi, aku dan Ratna mencoba untuk bertahan.
Sebenamya, aku dan Ratna ingin sekali mengadukan kekejaman Tante Wanda kepada papa. Tetapi setiap kali hal itu hendak kami lakukan, saat itu juga tiba-tiba aku dan Ratna seperti tidak memiliki keberanian. Takut dan khawatir kalau-kalau pengaduan kami justru memancing kemarahan papa.
Rupanya papa bisa merasakan gelagat tidak baik atas hubungan kami dengan Tante Wanda. Hingga suatu malam, aku yang kala itu sudah berumur sepuluh tahun dipanggil papa. Dalam pembicaraan malam itu, papa menginginkan aku dan Ratna tinggal bersama bude (kakak perempuan papa) di Surabaya. "Papa tidak memaksa jika kalian tidak ingin tinggal bersama bude ya nggak apa-apa," ujar papa kepadaku dan Ratna. Aku langsung saja setuju dengan rencana papa itu. Begitu pula dengan Ratna. Kami senang sekali. Saking senangnya, aku dan Ratna seperti tak sabar menunggu hari keberangkatan kami. Yang terbayang olehku, tentu bude akan sangat senang menyambut kehadiran kami. Apalagi bude di Surabaya tinggal sendirian sejak pakde meninggal dunia.
Begitulah, hingga hari yang kami nanti-nantikan itu pun tiba. Papa mengantarkan kami ke Surabaya. Sejak itu aku dan Ratna tinggal bersama bude. Kami memanggil bude dengan sebutan mami. Dan, seperti yang aku duga sebelumnya, kehadiran kami berdua benar-benar sangat membahagiakan mami. Mami tidak lagi merasa sepi dan sendiri.
Dalam asuhan mami, aku dan Ratna terus tumbuh dan berkembang. Kasih sayang kami kepada wanita itu melebihi segala-galanya. Mami sudah kami anggap sebagai orangtua kandung kami sendiri. Ia bukan saja pengganti sosok ibu kandung kami yang telah meninggal dunia, tetapi sekaligus juga berperan sebagai ayah. Dan, semua itu dilakukan mami dengan tulus ikhlas. Sekedar untuk diketahui, mami hidup dari hasil pensiunan almarhum suaminya. Sedang untuk mencukupi segala kebutuhanku dan adikku, papa mengirimi kami setiap bulan. Jumlahnya cukup banyak, bahkan melebihi kebutuhan kami bertiga. Tetapi untuk masalah keuangan, mami lebih mempercayai adikku.
Di mata kami, mami suka sekali berperilaku aneh. la gemar sekali menyalakan lilin dan berlama-lama menatapnya. Sambil memandang nyala api lilin, sesekali ia membakar batang korek api. Piring seng yang digunakan sebagai alas lilin-lilin itu sampai-sampai penuh dengan lelehan lilin dan batang korek api yang sudah berubah menjadi arang. Suatu hari ketika aku sudah duduk di bangku SMA, mami memanggilku. Katanya, aku mirip sekali dengan almarhum opa (ayah mami dan papa). Entah dengan maksud apa, waktu itu ia menasehatiku agar kelak memilih istri yang tepat. Walau hal tersebut belum terpikir olehku, namun untuk menyenangkan hati mami maka aku iyakan saja.
Belakangan kesehatan mami sering terganggu. Bahkan, sering keluar-masuk rumah sakit. Komplikasi penyakit yang dideritanya dari waktu ke waktu makin serius saja. Sejak itulah papa sering menjenguk mami di Surabaya. Maklum, papa adalah satu-satunya saudara mami yang masih ada.
Waktu terus beranjak. Aku sudah bukan lagi anak SMA. Aku sudah menjadi seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Tetapi untuk kesekian kalinya aku harus kehilangan orang yang amat aku cintai. Mami meninggal dunia di saat aku baru duduk di semester satu. Begitu juga adikku, dia sangat sedih dan terpukul dengan kematian Mami Dilla. Dan, sebagai kakaknya, tentu aku harus menghiburnya agar kesedihan adikku tidak berlarut-larut. Setelah kematian mami, siapa sebenamya diriku terungkap. Teryata aku bukanlah anak kandung papa dan wanita yang selama ini aku panggil mama. Aku hanyalah anak pungut dari sebuah panti asuhan. Papa dan mama mengambilku dari sebuah panti asuhan, setelah lama menikah dan tak kunjung dikaruniai momongan. Jadi, aku tidak lebih sebagai pancingan hingga kelahiran Ratna di dunia ini.
Pertama kali mengetahui kenyataan ini, hatiku serasa hancur berkeping. Aku hampir saja putus asa menapaki hidup ini. Aku merasa malu dengan diriku sendiri, setiap kali ingat kelakuan orangtua kandungku yang telah membuangku di sebuah panti asuhan itu. Aku benar-benar sudah tak berarti lagi bagi mereka. Aku tak ubahnya sampah ! Kelahiranku tak pemah dikehendaki oleh mereka.
Melihat keadaanku, Ratna sangat perhatian. la berusaha membangkitkan gairah hidupku. la membesarkan hati dan semangatku. Perhatian Ratna kepadaku sangat besar dan menyentuh. Puncaknya, ia pun berhasil menggagalkanku yang mencoba bunuh diri dengan menelan obat-obatan yang melebihi dosis. Keberhasilan Ratna mengentaskan aku dari lembah keterpurukan itu membuat hatiku lama-lama tertambat pada Ratna. Diam-diam aku jatuh hati pada wanita yang selama ini aku kira sebagai adik kandungku sendiri. Di luar dugaan, Ratna pun mempunyai perasaan yang sama denganku.
Cintaku kepada Ratna ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Sejak itu aku menjalani hidup bersama Ratna layaknya pasangan suami-istri, hingga Ratna pun hamil. Tentu saja kehamilan Ratna cukup merisaukan hatiku. Mengingat Ratna masih sekolah di SMA, semula aku ingin Ratna melakukan aborsi. Tetapi keinginan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Ratna. Alasannya, ia tak sampai hati kalau harus "menjagal" darah dagingnya sendiri.
"Aku takut dosa," aku Ratna sambil memohon agar aku mengurungkan rencana aborsi itu. Ratna pun akhirnya harus keluar dari sekolahnya, ketika kandungannya tak mungkin lagi disembunyikan. Dalam waktu yang hampir bersamaan, tiba-tiba kami mendapat kabar kalau papa mendapat kecelakaan dan meninggal dunia. Ratna benar-benar terpukul dan merasa sangat sedih atas kematian papa. Aku pun akhirnya menikah dengan Ratna. Kehidupan rumah tangga kami berjalan biasa-biasa saja.
Tiga orang anak hadir dan menyemarakkan kehidupan rumah tangga kami. Ketiga anak kami, yang pertama dan kedua adalah perempuan, sedang yang terakhir adalah laki-laki. Tetapi kebahagiaanku tak bertahan lama. Suatu ketika, aku mendapat laporan dari pembantuku, Bik Sulami, kalau istriku sering terlihat mesra dengan kawan senamnya, sesama perempuan. Namanya, Erna. Karena pengaduannya itu, Bik Sulami sempat aku marahi. Namun, Bik Sulami tetap bersikukuh dengan pendirian dan keyakinannya.
Benarkah Ratna seorang lesbian? Membayangkan itu, tiba-tiba aku merasa jijik sendiri. Entahlah, mendadak pula aku menggigil ketakutan. Aku berharap, hal itu hanyalah fitnah belaka. Walau begitu, aku harus menanyakan kebenaran kabar buruk itu secara langsung kepada Ratna. Tapi Ratna tak pemah mengakui. Katanya, dia akrab dengan Erna itu cuma sebatas keakraban berteman, tidak lebih dari itu. Aku bisa mempercayai kata-katanya itu.
Namun, lama-lama timbul kecurigaan di hatiku. Kecurigaanku menggeliat setiap kali Erna datang ke rumah dan langsung masuk ke kamar pribadiku. Kedatangannya seolah hendak menjemput istriku, dan selanjutnya diajak pergi entah ke mana. Berangkat dari rasa curiga itu pula suatu hari aku menguntit kepergiannya. Hatiku sedikit lega ketika aku mendapati mereka berada di tempat senam. Tetapi kecurigaanku timbul kembali ketika dari tempat senam Ratna dan Erna pergi bersama ke rumah Erna yang berada di sebuah kawasan elite di Surabaya. Tak kuasa menahan rasa penasaranku, aku pun secara diam-diam mengikuti mereka. Dengan hati berdebar-debar aku pencet bel di rumah Erna, dan seorang pembantu membukakan pintu untukku. Untuk kedua kalinya, ulah lesbi Ratna dan Erna tak terbukti. Kedatanganku hanya bisa menyaksikan mereka sedang nonton televisi. Dan, saat itu juga aku ajak Ratna untuk pulang. Sepanjang perjalanan pulang kami hanya saling bungkam.
Tapi, isu tentang hubungan sejenis antara Ratna dan Erna makin santer. Hasratku tergelitik untuk mencoba lagi menyelidikinya. Dan, untuk kesekian kalinya secara diam-diam aku menguntit kepergian Ratna dan Ema. Kepergian mereka kali ini naik mobil Erna dan langsung menuju sebuah hotel. Di depan pintu kamar hotel yang mereka sewa, hatiku cemas. Rasanya maju-mundur untuk mengetuk pintunya. Tetapi dorongan hatiku lebih kuat dari segala-galanya. Maka, ketika aku merasa waktunya sudah tepat, kuketuk pintu itu. Pintu pun terbuka, dan apa yang menjadi dugaanku lagi-lagi tak terbukti adanya. Aku lihat Ratna maupun Erna masih berpakaian lengkap dan tak aku dapati tanda-tanda yang mengarah pada hal-hal yang patut dicurigai. Kali ini kedatanganku justru menyulut kemarahan Ratna. Habis-habisan aku dimakinya di hadapan Erna. Walau begitu aku tak peduli dan langsung mengajak Ratna pulang. Tetapi Ratna tak mau dan memilih akan pulang sendiri. Aku pun mengalah dan ketika Ratna sampai di rumah waktu sudah larut malam.
Esok paginya aku tak mendapati Ratna berada di rumah. Aku sempat berpikir, mungkin Ratna minggat. Anak-anak pun bertanya kepadaku, mengapa tiba-tiba mamanya pergi tanpa pamit ? Aku hanya bisa berbohong. Aku katakan kepada anak-anak kalau mama mereka sebentar lagi akan pulang. Sejak anak-anak sering menanyakan mamanya, aku berusaha mati-matian untuk menemukan Ratna. Hampir di setiap tempat yang mungkin disinggahi Ratna aku sisir dan selidiki. Setelah hampir seminggu menghilang, tiba-tiba Ratna muncul. Kepadanya aku mengaku bersalah. Nyatanya, sejak saat itu rumah tangga kami berangsur-angsur pulih seperti sedia kala. Tentu saja hal tersebut merupakan kebahagiaanku dan anak-anak.
Namun di saat pikiran burukku akan ulah Ratna dan Erna luntur, mendadak suatu hari peristiwa itu nyata terjadi di depan mata kepadaku sendiri. Sepulang dari kantor, aku mendapati Ratna dan Erna tidur berduaan dalam posisi berpelukan mesra tanpa busana di kamarku. Aku berharap Ratna akan minta maaf kepadaku setelah tertangkap basah. Tapi, harapanku tak pernah menjadi kenyataan. Sebaliknya, Ratna malah menantangku untuk menceraikannya. Namun aku tak ingin menuruti emosiku. Aku mencoba untuk bertahan dan bersabar. Aku berharap, Ratna masih bisa disembuhkan dari kelainan seksnya itu. Demi anak-anakku, aku akan terus berusaha. Apa pun akan aku lakukan demi mereka. Tetapi Ratna tetap pada pendiriannya. la hanya ingin cerai dari aku, dan hidup bersama anak-anak kami. Aku tak mungkin mengabulkan keinginan Ratna. ltulah sebabnya, aku tetap menggantungnya.
Sebenarnya aku kasihan melihatnya. Sebab Ratna tak mungkin lagi menikah dengan statusnya yang mengambang seperti itu. Tetapi aku juga tak ingin berpisah dengan anak-anakku. Akibatnya, rumah tanggaku bagai sebuah neraka. Anak-anakku pun menjadi korban egoisme orangtuanya. Ya Tuhan berikanlah petunjuk dan hidayah-Mu kepada istriku, Ratna. (Seperti diceritakan Robby kepada Roy Pujianto)R.26
Sumber : Majalah Fakta No. 566